Rabu, 16 Juli 2014

MAHA VIHARA MAITREYA

Dari Tjong A Fie Mansion, kami menuju ke Maha Vihara Maitreya. Vihara ini mulai didirikan tahun 1991 di atas tanah seluas 4,5 hektar di komplek Cemara Asri, Jalan Boulevard Utara, Medan, namun baru diresmikan bulan Agustus 2008 lalu. Maha Vihara Maitreya terhitung masih berusia muda. Vihara ini menggunakan nama Maha Maitreya, Budha Maitreya yang ditinggikan karena ajaran cinta kasih semesta yang diajarkannya kepada umat Budha. Tempat ini ramai dikunjungi selain sebagai tempat peribadatan, juga sebagai salah 1 tujuan wisata. Suasana di sana terasa sangat tenang dan damai sehingga membuat pengunjung menjadi betah. 

Disebelah vihara, terdapat kolam yang menjadi tempat habitat berbagai jenis burung. Awalnya tidak begitu banyak, namun karena semakin lama semakin meningkat populasinya, atas inisiatif pengelola Kompleks Cemara Asri,  lahan tersebut akhirnya dijadikan sebagai tempat habitat burung. Berdasarkan penelitian, jumlah burung di tempat ini terus bertambah setiap harinya mencapai hingga 5.000 ekor. Beragam jenis burung menjadikan tempat ini sebagai tempat peristirahatan mereka. Ada burung kolak malam kelabu, kuntul besar, kuntul kecil, kuntul kerbau, cangak merah, cangak abu, kokokan laut, koreo padi, bangau, dan masih banyak jenis burung yang lainnya. Tempat ini juga menjadi habitat beragam jenis ikan tawar dan juga kadal. Habitat burung di tempat ini menjadi nilai tambah sekaligus menjadi objek wisata alam bebas yang menarik.  Apalagi di sore hari, ketika keluarga burung baru pulang dari arah pantai, merupakan suatu pemandangan alam yang luar biasa.

Selasa, 15 Juli 2014

TJONG A FIE MANSION

Dari Gereja Katedral Medan, kami berjalan kaki menuju ke Tjong A Fie Mansion, yang berjarak hanya beberapa puluh meter saja. Tjong A Fie Mansion membawa kita kembali bernostalgia ke era Baba Nonya lengkap dengan sejarah dan tradisinya. Di museum dan bangunan cagar budaya nasional seluas 6000m2 yang berumur lebih dari seabad ini, kita dapat menikmati keindahan arsitektur Cina kuno yang digabungkan dengan nuansa arsitektur gaya Eropa dan Melayu. Dibangun oleh seorang mayor Cina yang melegenda, Tjong A Fie. Rumah kediaman ini kini menjadi salah satu ikon dan simbol sejarah multi etnis di kota Medan. Bangunan ini terletak di jalan Ahmad Yani (dulu Kesawan) no 105. Medan.

Tjong A Fie Mansion pada th 1930


 
Tjong A Fie Mansion kini



Tjong Fung Nam/ Tjong A Fie yang merupakan suku hakka, lahir tahun 1860 di Sungkow, Meixien, China. Berasal dari keluarga sederhana, ayahnya memiliki sebuah toko kelontong. Bersama kakaknya Tjong Yong Hian, A Fie muda meninggalkan bangku sekolah dan membantu di toko. Walau hanya mendapat pendidikan seadanya, A Fie sangat cerdas dan dalam waktu singkat dapat menguasai kiat dagang dan usaha yang dikelolanya mendapat kemajuan. Tapi, A Fie mempunyai cita-cita ingin mengadu nasib di rantau untuk mencari kekayaan dan menjadi terpandang. Tekad inilah yang mendorongnya pergi ke Hindia Belanda.
Ibunda Tjong A Fie
Ayahanda Tjong A Fie
Pada usia 18 tahun dengan berbekal 10 dolar perak uang Manchu yang diikatkan ke ikat pinggangnya, A Fie menyusul kakaknya Yong Hian yang sudah lima tahun menetap di Sumatera. Pada tahun 1880, ia tiba di Labuhan Deli. A Fie kemudian diminta Belanda untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan. Ia kemudian diangkat menjadi Letnan Cina dan pindah ke Medan. Karena prestasinya yang luar biasa, dalam waktu singkat pangkatnya dinaikkan manjadi kapten (kapitein).
Tjong A Fie dalam busana kebesarannya
Di Medan, A Fie mempunyai pergaulan yang luas dan terkenal sebagai pedagang yang luwes dan dermawan. Ia kemudian membina hubungan yang baik dengan Sultan Deli, Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsjah dan Tuanku Raja Moeda. A Fie berhasil menjadi orang kepercayaan Sultan Deli. Ia memperolah reputasi baik dan terkenal di seluruh Deli, baik di kalangan pedagang, orang Eropa serta pejabat pemerintah setempat. Hubungan yang baik dengan Sultan Deli, yang kemudian merekomendasikan dirinya menjadi dewan kota dan kebudayaan, serta penasehat pemerintah Belanda dalam hubungan dgn China pd jaman itu, merupakan awal sukses A Fie dalam dunia bisnisnya yang mencakup perkebunan tembakau, teh, karet, dan kelapa sawit, pertambangan, bank, pabrik gula dan perusahaan kereta api.

Sultan Deli yang bersahabat baik dengannya.
Tjong A Fie juga merupakan tokoh pembangunan di Sumatera Utara. Sepanjang hidupnya selama di Medan telah banyak menyumbangkan hartanya untuk kepentingan sosial dengan membangun sarana-sarana untuk kepentingan umum dan menolong orang miskin tanpa membedakan warna kulit, suku dan agamanya. Kedermawanan dan kepedulian sosial yang masih terlihat hingga saat ini adalah Titi Berlian (jembatan di kampung Madras) yang dibangun untuk menghormati abangnya Tjong Yong Hian sekaligus untuk kepentingan masyarakat luas, membangun klenteng, menyediakan tempat pemakaman di Pulo Brayan dan mendirikan yayasan kematian. Ia juga membangun rumah sakit khusus untuk merawat pasien berpenyakit lepra di Pulau Sicanang dan RS Tionghoa pertama di Medan dgn nama Tjie On Jie Jan. Rasa hormatnya kepada Sultan Deli, Makmun Al Rasjid dan penduduk Islam Medan, diwujudkan dengan mendirikan Mesjid Raya Medan dengan menyumbang sepertiga dari seluruh biaya pembangunannya. Beliau juga membiayai pembangunan mesjid Gang Bengkok. yang tak jauh dari kediamannya di Jalan Kesawan. Banyak sekolah yang mendapat bantuannya, baik sekolah Kristen, Islam maupun sekolah Tionghoa. Ia juga menyediakan tanah untuk pembangunan sekolah Methodist di Medan. Beliau juga menyumbang dalam pembangunan kuil Hindu tempat beribadah orang India. Jam besar di puncak gedung Balai Kota yang lama juga merupakan sumbangannya. Di Klenteng Kek Lok Si di Ayer Itam, Penang sampai sekarang masih berdiri patung Tjong A Fie sebagai penghormatan pada dirinya. Ia ikut serta mendirikan Bank Deli, Bank Batavia, dan bank Kesawan.
Silsilah Keluarga Tjong A Fie
Ketika masih berada di Tiongkok, Tjong A Fie telah menikahi seorang gadis yang bermarga Lie karena perjodohan. Saat tiba di Deli ia menikah dengan Nona Chew yang berasal dari Penang dan memilki tiga orang anak, yakni Tjong Kong Liong, Tjong Song-Jin dan Tjong Kwei-Jin. Saat istri keduanya meninggal dunia, ia menikah dengan Lim Koei Yap, yang kemudian memiliki tujuh orang anak, yakni Tjong Foek-Yin (Queeny), Tjong Fa-Liong, Tjong Khian-Liong, Tjong Kaet Liong (Munchung), Tjong Lie Liong (Kocik), Tjong See Yin (Noni) dan Tjong Tsoeng-Liong (Adek).

Keluarga besar Tjong A Fie pada saat ultah Tjong ke 60

Tjong bersama anak2nya saat masih kecil
Tahun 1917 Tjong A Fie menerima gelar Doktor Kehormatan (H.C) dari Universitas Hongkong. Ia juga menerima banyak bintang jasa dari pemerintah Belanda, salah satunya yg sangat tinggi nilainya ialah " Rider van de Oranye Nassau ". Selain itu juga menerima bintang kehormatan dari Kaisar dan pemerintah Tiongkok waktu itu. Pengaruh Tjong A Fie tidak hanya di Medan saja, namun juga di luar negeri seperti Penang, Singapura, Hong Kong, Tiongkok dan bahkan Amsterdam. Di Amsterdam, dia menjadi salah seorang pendiri Institut Kolonial yang kini bernama Institut Tropis Kerajaan (Koninklijk Instituut voor de Tropen).
Tjong A Fie dengan medali penghargaannya
Pada 4 Februari 1921, Tjong A Fie meninggal dunia karena apopleksia atau pendarahan otak, di kediamannya di Jalan Kesawan, Medan. Seluruh kota Medan gempar dan turut berkabung, ribuan orang pelayat datang berduyun-duyun bukan saja dari kota Medan, tetapi dari berbagai kota di Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaysia, Singapura dan Pulau Jawa. Upacara pemakamannya berlangsung dengan megah dan penuh kebesaran sesuai dengan tradisi dan kedudukannya pada masa itu. Karena kedermawanannya, tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, agama dan asal-usul, Tjong A Fie telah menjadi legenda dan namanya dikenang oleh penduduk kota Medan dan sekitarnya.
Tandu yang mengangkat peti jenazah Tjong
Tandu jenazah yang sudah siap berangkat
Iring2an prosesi menuju ke tempat pemakaman
Lautan manusia yang menghantar Tjong
Lautan manusia yang menghantar Tjong
Iring2an prosesi menuju ke tempat pemakaman
Iring2an prosesi menuju ke tempat pemakaman
Suasana pemakaman Tjong di Pulo Brayan
Peristirahatan terakhir Tjong A Fie
Empat bulan sebelum meninggal dunia, Tjong A Fie telah membuat surat wasiat di hadapan notaris Dirk Johan Facquin den Grave. Isinya adalah mewariskan seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada saat ia meninggal dunia. Yayasan yang berkedudukan di Medan diminta untuk melakukan lima hal. Tiga diantaranya untuk memberikan bantuan keuangan kepada kaum muda yang berbakat dan berkelakuan baik serta ingin menyelesaikan pendidikannya, tanpa membedakan kebangsaan. Yayasan ini juga harus membantu mereka yang tidak mampu bekerja dengan baik karena cacat tubuh, buta, atau menderita penyakit berat. Juga yayasan diharapkan membantu para korban bencana alam tanpa memandang kebangsaan atau etnisnya.
Wasiat Tjong A Fie
150 tahun setelah kelahiran Tjong A Fie, tepatnya pada tanggal 18 Juni 2009 keturunan Tjong A Fie akhirnya memutuskan untuk membuka Tjong A Fie Mansion untuk umum. Tjong A Fie Mansion kini dikelola oleh Tjong A Fie Memorial Institute sebagai usaha untuk melestarikan sejarah. Sampai hari ini Tjong A Fie Mansion masih dihuni oleh keturunan Tjong A Fie, yaitu salah seorang  cucunya. Tentu saja karena itulah maka ada beberapa bagian dari Tjong A Fie Mansion yang ditutup untuk umum.
No rumah
Prasasti Tjong A Fie di halaman mansion
Gapura Mansion sekarang
Gapura Mansion dulu
Halaman Muka Mansion
Halaman Muka Mansion
Pintu Utama Mansion
Ruang Tengah
Salah satu ruang penerima tamu
Salah satu ruang penerima tamu
Tengah rumah yang terbuka
Tangga menuju lantai atas
Kamar Tidur Tjong




Ruang bersantai di lantai atas
Ruang dansa di lantai atas
Ruang dansa pada masa lalu penuh dengan perabot mewah
Ruang dansa yang agak kosong
Ruang dansa pada masa lalu penuh dengan perabot mewah




Senin, 14 Juli 2014

GEREJA KATEDRAL MEDAN


Dari M&R resto, kami beranjak menuju Gereja Santa Perawan Maria yang Dikandung tak Bernoda Asal atau lebih dikenal dengan nama gereja Katedral Medan. Lokasi gereja ini di Jalan Pemuda no 1. Medan. Pada awal berdirinya tahun 1879, Gereja Katedral Medan adalah sebuah gubuk beratap daun rumbia dan ijuk tempat beribadat puluhan umat Katolik (yang mayoritas suku India-Tamil dan Belanda). Dulunya jalan ini dikenal sebagai Jl Istana. Melihat perkembangan jumlah umat, pada th 1905, ketika umat Katolik sudah berjumlah 1200 orang, pembangunan Gereja yang sekarang ini mulai dilaksanakan. Pembangunan tersebut diprakarsai dan dilaksanakan oleh para Pastor Ordo Jesuit yang bekerja di Medan. Mulai 30 Januari 1928, diadakan renovasi permanen dan penambahan bangunan untuk panti imam, ruang pengakuan dosa, menara dan pelataran depan. Perluasan dan pembangunan permanent pada tahun 1928 tersebut dirancang oleh arsitek Belanda yang bernama Mr. Han Groenewegen dan dilaksanakan oleh Mr. Langereis. Hasil dari pemugaran itulah yang dapat kita lihat saat ini.







LUNCH AT M&R RESTO

Selesai dari Pertapaan Suster Karmel, kami segera kembali ke kota untuk makan siang. Ternyata perjalanan yang panjang dan macetnya kota Medan, membuat waktu makan siang yang dijadwalkan jadi molor sampai jam 14.30.
Kami dibawa ke M&R resto, sebuah restaurant chinese food yang menyajikan masakan nonya (cina peranakan) khas Malaka. Lokasi resto ini di daerah Kampung Keling (kini berganti nama Kampung Madras atas desakan dari warga India yang merasa istilah "keling" seperti ejekan/ hinaan bagi mereka yang sebagian besar berkulit gelap), tepatnya di Jln. Taruma no 37, Petisah Tengah, Medan. Tlp. (061) 453-6537/ 451-7063. Jam buka : 11.00 – 15.00 dan 18.00 – 21.00.
Saat memasuki resto ini, suasana rumah khas cina tempo dulu terasa baik di ornament maupun furniture nya. M&R itu sendiri merupakan singkatan dari nama Mina dan Ratna, 2 bersaudara yang hobi jalan2 sambil wisata kuliner.
Konon restoran ini merupakan salah 1 tujuan para penggemar kuliner di Medan. Bondan Winarno pernah menulis tentang restoran di Kompas. Entah ada salah dimana, tetapi saat kami mencoba makanan disini, beberapa menu andalannya ternyata terlalu asin. Entah karena kami kesorean tiba disana, sehingga mereka menghangatkan sayur yang sudah disiapkan berulang kali, atau karena faktor lainnya.
Papan Nama Resto

Tampak depan

Bagian dalam resto





Buku Menu

Tahu Spesial M&R

Hot plate Rusa Lada Hitam

Cap Cai